Bagaimanakah niat dan cara i’tikaf? Kita bisa kaji kembali dari Surah Al-Baqarah ayat 187.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikafdalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Penjelasan Ayat
Ketika Allah membolehkan menggauli istri pada malam hari puasa, maka disebutkan pula satu keadaan yang tidak boleh dilakukan pada malam dan siang hari yaitu ketika beriktikaf.
Yang dilarang di sini adalah al-mubasyarah. Asal arti dari al-mubasyarah adalah bersentuhan kulit dan kulit. Al-mubasyarah yang lebih besar lagi adalah jimak. Hal ini tidak boleh dilakukan ketika melakukan iktikaf di masjid. Yang dimaksud iktikaf adalah menetap di masjid dalam rangka melakukan ketaatan kepada Allah.
Yang dimaksud ayat ini adalah janganlah dekati istri selama iktikaf di masjid, baik pada malam maupun siang hari sampai keluar iktikaf. Maka tidak boleh orang yang beriktikaf mencumbu istrinya dengan syahwat, baik di dalam masjid atau pun di luar masjid sebagaimana seandainya ia pergi ke rumahnya untuk memenuhi hajat di tengah-tengah iktikaf.
Lalu disebutkan inilah batasan-batasan Allah setelah menyebutkan mengenai hukum puasa dan iktikaf. Hudud berarti penghalang.
Batasan Allah di sini ada dua macam:
- yang dari luar tidak boleh masuk ke dalam, yaitu batasan berupa hal haram, inilah yang dimaksud dalam ayat dengan kalimat “tilka hududallahi falaa taqrobuhaa”, itulah larangan Allah janganlah didekati.
- yang dari dalam tidak keluar, yaitu batasan berupa kewajiban, seperti dalam ayat “fa laa ta’taduuhaa”, janganlah melampaui batas sebagaimana dalam surah Al-Baqarah ayat 229.
Maksud ayat berarti janganlah mendekati yang dilarang dan yang diharamkan saat puasa seperti makan, minum, jimak pada saat puasa, juga mencumbu istri di tengah-tengah iktikaf.
Kalimat “jangan dekati” itu maknanya lebih dalam dibandingkan dengan larangan jangan lakukan. Karena makna “jangan dekati” berarti menutup semua jalan menuju yang haram.
Ayat 187 ini ditutup dengan maksud Allah itu menjelaskan ilmu agama dan masalah syariat pada manusia, agar mereka bertakwa yaitu dengan mengerjakan yang wajib dan menjauhkan diri dari yang haram untuk selamat dari siksa Allah.
Faedah Ayat
Pertama:
Boleh bercakap-cakap antara suami istri ketika jimak, di mana hal ini masih dianggap tabu oleh sebagian kalangan. Yang dimaksud ar-rafats dalam ayat adalah bercakap-cakap yang berkaitan dengan jimak dan syahwat.
Kedua:
Boleh berhubungan intim dengan istri dengan gaya apa pun asalkan tidak melakukan yang dilarang seperti bersetubuh pada dubur dan bersetubuh saat haidh dan nifas.
Dalam hadits disebutkan,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
“Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haid atau menyetubuhi wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi, no. 135; Ibnu Majah, no. 639. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dalam ayat disebutkan pula,
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223).
Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “ ‘الْحَرْثُ’ dalam ayat tersebut bermakna tempat bercocok tanam. Artinya, anak itu tumbuh dari hubungan di kemaluan dan bukan di dubur. Jadi maksud ayat tersebut adalah setubuhilah istri kalian pada kemaluannya, tempat tumbuhnya janin. Sedangkan makna ‘أَنَّى شِئْتُمْ’ yaitu sesuka kamu bagaimana variasi hubungan seks, mau dari arah depan atau belakang, atau antara keduanya, atau pun dari arah kiri. Dalam ayat tersebut, Allah menyebut wanita sebagai ladang dan dibolehkan mendatangi ladang tersebut yaitu pada kemaluannya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 32:267-268)
Ketiga:
Bukan hanya mengerjakan yang mubah saja, namun yang mubah diniatkan untuk raih pahala karena Allah Ta’ala berfirman,
وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ
“Dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Keempat:
Siapa saja yang ragu terbitnya fajar Shubuh, masih boleh baginya makan dan minum hingga yakin terbit fajar Shubuh karena dalam ayat disebutkan “حَتَّى يَتَبَيَّنَ”, sampai jelas.
Kelima:
Disyariatkannya iktikaf, ini adalah ibadah yang mulia dan iktikaf hanya boleh di masjid. Masjid yang digunakan iktikaf bisa masjid mana saja.
Berarti cara iktikaf adalah dengan menetap di masjid untuk beribadah selama jangka waktu tertentu. Niatnya cukup dalam hati untuk maksud tersebut.
Keenam:
Iktikaf batal karena jimak.
Ketujuh:
Disunnahkan puasa saat iktikaf karena Allah menyebut iktikaf pada ayat puasa.
Kedelapan:
Ilmu adalah sebab untuk menggapai takwa. Dalam ayat puasa diajarkan hukum pada manusia untuk mencapai derajat takwa.
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
Tafsir Az-Zahrawain – Al-Baqarah wa Ali Imran. Cetakan pertama, Tahun 1437 H. Muhammad Shalih Al-Munajjid. Penerbit Obeikan.
Catatan Ramadhan #10 @ Darush Sholihin, Panggang Gunungkidul
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com